Bogor, 17 Mei 2022
by. Oleh Ruhyana/ Praktisipendidikanindonesia
Generasi saat ini berada pada hegemoni penggunaan teknologi informasi , dimana hampeir semua kehidupan tidak lepas dari penggunaanya untuk mencapai kemudahan akses secara cepat, akurat dan tak terbatas. Dunia pendidikan pun tidak lepas dari hegemoni teknologi informasi ini, bahkan pembelajaran tidak dapat berlangsung efektif jika tidak menggunakanya terutama pada saat pandemic yang memiliki keterbatasan pembelajaran secara luring. Problem baru pun muncul akibat kecepatan akses informasi karena merubah tatanan kehidupan yang selama ini berabad-berabad bertahan.
Pada era digital ini peserta didik di sekolah dan generasi muda pada umumnya dihadapkan pada dua pilihan yaitu mengikuti perubahan zaman atau hilang ditelan perubahan itu sendiri. Pilihan ini seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dihindari dan harus disikapi dengan bijak. Arus pengaruh perubahan global saat in sudah dirasakan bagaimana perubahan ke arah dehumanisasi sebagai faham materialisme, liberalisme dan sekularisme semakin massif yang mengarah pada budaya hedonis, konsumtif dan instans. Menurut Syahidin : Pentingnya Pendidikan Qur’ani di era Disprupsi dan Post Truth 2019), generasi saat ini lebih unggul dalam kecerdasan intelektual dan kekuatan fisik, namun terkendala dalam kecerdasan emosiaonal dan spiritual. Permasalahan yang muncul saat ini dalam bentuk perilaku trends saat ini keinginanan menggapai kesuksesan dan keberhasilan tanpa berusama keras, budaya kenikmatan melalui 3F: Food, Fashion and Fun, nilai-nilai tradisi lepas dari nilai-nilai transenden.
Pengaruh-pengaruh akibat kecepatan teknologi informasi pada saat ini agar tidak mengarah pada hilang ditelan perubahan, tentu harus melakukan perubahan, terutama yang berkutat pada dunia pendidikan untuk menyelamatkan generasi muda ke depan. Hal ini tentu sangat berat, karena kecepatan akses informasi sudah merasuki semua manusia termasuk para pelaku dunia pendidikan baik guru, kepala sekolah, pemegang kebijakan pendidikan bahkan stakeholder sekolah dan bagaimana menggunakan kecepatan teknologi informasi dengan mempetimbangkan nilai-nilai yang terkandung dalam membentuk emosional dan spiritual berdasarkan aspek moralitas agama siswa secara inhern. Ini memang berat namun harus dilakukan berdasarkan kebutuhan saat ini, sebagaimana pendapat Muhammad Iqbal patut untuk direnungkan, yang dikutip Nixon Husin, bahwa “Sistem pendidikan Barat mampu membawa anak-anak kita mengagumi dan mempelajari kemajuan teknologi, tetapi tidak bagi mendidik mata anak-anak untuk menangisi dosa-dosanya dan mendidik hati mereka supaya takut hanya kepada Penciptanya”.
Pendidikan akhlak merupakan ruh dari pendidikan itu sendiri, tanpa pendidikan akhlak, mustahil pendidikan akan berhasil mencetak sumberdaya manusia yang berkualitas. Kualitas yang dimaksud tentu bukan semata-mata kemampuan intelektual atau keterampilan umum, namun didukung dengan sikap dan perilaku yang terpuji, yang dengannya dapat tercermin pribadi-pribadi yang mulia. Hal ini karena berguna dan tidaknya peserta didik bagi umat atau masyarakat secara umum nantinya, ditentukan dari kualitas akhlaknya. Dalam membangun pendidikan, baik itu di institusi terkecil seperti institusi keluarga maupun di sekolah atau perguruan tinggi, perlu menjadikan nilai-nilai akhlak sebagai bagian dari kerangka bangunannya. Hal ini karena pendidikan yang baik sejatinya tidak dinilai dari kemegahan bangunan dan fasilitas yang lengkap, tapi dinilai dari berbagai aspek dan salah satu yang utama adalah akhlak. Oleh karenanya, betapa banyak sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki sarana dan prasaran yang tidak hanya lengkap, tapi juga mewah memiliki problem dengan kenakalan peserta didik mereka. Dengan demikian, pendidikan akhlak di Era ini adalah kebutuhan primer. Semua kalangan harus memiliki perhatian penuh terhadap masalah akhlak ini.
Jika pendidikan merupakan ruh kehidupan masyarakat, karena tanpanya masyarakat tidak akan berkembang dan maju, maka pendidikan akhlak adalah jiwa kehidupan itu sendiri. Pemerintah dalam menetapkan kebijakan pendidikannya harus menjadikan nilai-nilai akhlak sebagai bagian dari aspek utama. Demikian pula dengan masyarakat, harus memiliki kepedulian terhadap perkembangan akhlak generasi muda. Hal ini karena satu-satunya penerus umat dan bangsa ke depan adalah generasi muda.
Strategi Pendidikan Akhlak Bagi Generasi Muda di Era ini sebagai upaya membangun moralitas masyarakat harus dilakukan terus menerus sampai kapanpun. Tantangan zaman yang memiliki karakter khas pada setiap masanya perlu dipahami dan disadari oleh masyarakat. Hal ini karena tanpa pemahaman dan kesadaran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, sulit untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan dengan baik. Problem moralitas yang kian meluas yang didorong oleh media teknologi informasi yang kian pesat dan mudah dijangkau semua kalangan, menjadi tantangan tersendiri yang tidak dapat diabaikan. Dalam kaitannya, pendidikan perlu melakukan upaya serius untuk membangun dan menjaga moralitas masyarakat agar tetap sesuai dengan fitrahnya. Pendidikan generasi muda yang menekankan pada aspek sikap dan prilakunya menjadi kebutuhan primer yang harus terpenuhi. Untuk itu, sebagai upaya dalam membangun pribadi-pribadi yang berakhlak karimah, ada beberapa hal penting dan perlu dilalukan para pendidik. Berikut strategi yang dapat diupayakan dalam membangun dan membentengi moral generasi muda di era Disrupsi.
Pertama, generasi muda saat ini perlu dikenalkan pemahaman yang komperhensif tentang konsep akhlak. Mereka perlu memahami, menghayati, dan mengaktualisasi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam yang berkaitan dengan sikap dan prilaku secara utuh. Pemahaman tersebut yaitu tentang hubungan dengan Allah swt., hubungan dengan sesama manusia yang meliputi kesalehan pribadi dan masyarakat secara adil serta hubungan manusia dengan alam semesta sebagai khalifatullah.
Berkaitan dengan hubungan kepada Allah, sebagaimana dipaparkan pada penjelasan terdahulu, peserta didik perlu diajarkan bagaimana seorang hamba seharusnya berhubungan dengan Sang Khaliq. Peserta didik perlu diajarkan bagaimana ikhlash kepada Allah, bersandar dan tawakkal hanya kepada-Nya, bagaimana untuk senantiasa mengharapkan rahmat-Nya, terus menumbuhkan rasa takut kepada adzab-Nya, malu kepada-Nya, mensyukuri nikmat-nikmat-Nya, sabar dalam menerima cobaan dari-Nya, ridha terhadap segala ketentuan-Nya, terus menumbuhkan rasa cintai kepada-Nya, tanamkan di dalam jiwanya bahwa kehidupan akhirat lebih baik daripada dunia (zuhud) dsb.
Sementara itu, untuk membangun hubungan dengan sesama manusia yang sesuai dengan nilai-nilai akhlak, peserta didik perlu ditanamkan sifat-sifat terpuji dan menjauhkannya dari sifat-sifat buruk, serta diajarkan kepadanya adab-adab dalam pergaulan. Sifat-sifat terpuji tersebut seperti kejujuran, amanah, kemurahan hati, kedermawaan, keberanian, tawadhu, malu, menahan diri, lemah lembut, sabar, adil dsb. Sementara sifat yang harus dijauhi, antara lain: sombong, bangga diri, iridengki, kikir, berbohong, mencela, hasud, dsb. Berkaitan dengan adab-adab yang perlu diajarkan kepada anak, Muhammad Nur Suwaid setelah mengkaji hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang adab-adab yang perlu ditanamkan kepada anak, menyebutkan ada sembilan adab. Adab-adab tersebut, yaitu: 1) adab kepada orang tua; 2) adab kepada kepada ulama; 3) adab penghormatan kepada yang tua dan muda (menghormati yang tua dan menyayangi yang mud; 4) adab persaudaraan (baik saudara sedarah maupun saudara seakidah); 5) adab bertetangga; 6) adab meminta izin; 7) adab makan; 8)adab berbusana dan berpenampilan; 9) adab mendengarkan bacaan Al-Quran.
Adapun hubungan manusia dengan alam artinya bahwa manusia sebagai khalifatullah di muka bumi memliki tanggung tawab dalam menjaga dan memanfaatkan alam semesta ini sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Alam yang dimaksud adalah binatang, tumbuh-tumbuhan, atau lingkungan hidup secara umum. Dengan kata lain, seorang pendidik juga bertanggung jawab untuk mengajarkan bagaimana seharusnya seorang manusia bersikap dan berprilaku terhadap alam.
Kedua, hal yang tidak kalah penting dalam pendidikan akhlak adalah keteladanan. Saat ini generasi muda mengalami krisis keteladanan. Masyarakat di Era keterbukaan informasi ini, dengan kemudahan akses terhadap berbagai media seringkali dipertontonkan dengan perilaku amoral yang jauh dari nilai-nilai akhlak. Tidak jarang di berbagai media didapati kabar tokoh-tokoh yang awalnya memilki tempat dan kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat menjadi terjerat hukum, baik yang tersangka karena kasus korupsi ataupun kasus pidana lainnya. Di sisi lain, didapati juga berbagai kasus-kasus yang dilakukan oleh para guru yang melakukan berbagai tindakan tidak terpuji, seperti pelecehan seksual, kekerasan, dan lain sebagainya. Sementara itu, di berbagai media mainstream anakanak dan remaja juga banyak disuguhkan dengan aneka tontonan yang jauh dari nilai-nilai edukatif, yang semata-mata berbasis hiburan. Di media online, disajikan berbagai informasi dan peristiwa tanpa batas, yang tidak sedikit sejatinya tidak layak untuk dikonsumsi publik.
Di tengah kondisi krisis keteladanan ini, peran keluarga menjadi prioritas utama dalam membangun akhlak generasi muda. Orang tua dituntut untuk menjadi model bagi mereka dalam pembentukan kepribadian mereka. Oleh sebab itu, orang tua harus memiliki kesadaran dan berupaya sungguh-sungguh untuk menjadi pribadi-pribadi teladan dalam keluarga. Selain dari orang tua, tanggung jawab lain dalam pendidikan akhlak generasi muda adalah guru. Guru sebagai profesi mulia dalam bidang pendidikan juga seharusnya senantiasa memiliki kepedulian terhadap pembangunan akhlak peserta didiknya. Oleh karenanya, disamping mengajarkan ilmu sesuai bidang masingmasing, guru juga dituntut untuk membangun akhlak peserta didiknya dengan mentransfer nilai-nilai akhlak. Hal tersebut dilandasi dengan keteladan para guru di sekolah. Guru dituntut menjadi figur-figur teladan sebagai upaya pembentukan peserta didik menjadi pribadi-pribadi mulia.
Seorang pendidik, baik orang tua maupun guru perlu menyadari tanggung jawab pendidikan akhlak generasi muda ini. Kesadaran mereka tentang tanggung jawab ini harus ditumbuh kembangkan dengan berupaya sungguh-sungguh untuk menjadi pribadi-pribadi teladan. Hal ini karena pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan peserta didik, yang setiap tingkah lakunya disadari ataupun tidak senantiasa dilihat dan diperhatikan.
Ketiga, hal lain yang juga penting dalam proses pendidikan akhlak adalah mencegah peserta didik larut dalam kesenangan dan kemewahan. Larut dalam kesenangan dan kemewahan artinya berlebih-lebihan dalam kesenangan dan selalu berada dalam kenikmatan dan kemewahan. 36 Masyarakat yang berorientasi pada kesenangan semata, yang semuanya mengacu kepada kepuasan materil namun kering dari nilai-nilai akhlak dan spiritual adalah masyarakat yang sudah terjangkit 36 Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam Jilid 1, 214.)
hedonisme. Bagi seorang muslim, prilaku hedonis merupakan prilaku yang perlu dihindari. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam: ِ ِيَّا ُكْم َو التَنَ ُّعْم فَإ ِعِمْي َن )رواه احمد و أبو نعيم( ُم إ َّن تَنَ ال ِ ْي ُس ْوا ب ِعبَا َد َّللاِ لَ “Janganlah kamu bersenang-senang. Karena hamba Allah itu bukanlah orang-orang yang suka bermewah-mewahan.” 37 Teknologi informasi yang tidak dapat lepas dari kalangan remaja dan pemuda saat ini menjadi salah satu faktor tumbuhnya budaya hedonis. Remaja maupun pemuda saat ini dimudahkan untuk mengakses berbagai kontens hiburan yang tidak terbatas. Kemudahan akses terhadap berbagai informasi dan hiburan yang beragam dan tidak terbatas menjadi magnet tersendiri yang sulit dihindari.
Disisi lain, pemerataan akses internet di Indonesia yang semakin meluas merupakan gerbang bagi masuknya budaya asing. Arus budaya global yang tidak sedikit jauh dari nilainilai akhlak, terus menerus-menerus menerpa masyarakat, dan disadari atau tidak telah diadopsi oleh masyarakat Indonesia tanpa filter. Dengan kondisi di atas, maka para pendidik perlu menanamkan nilai-nilai kesederhanaan dan melatih peserta didik untuk mampu mengendalikan diri. Membiasakan peserta didik dalam kesenangan dan kemewahan, hanya akan menjadikannya malas dalam melakukan berbagai kewajiban dan hanya berorientasi kepada hasil tanpa mementingkan proses. Padahal spirit perjuangan (jihad) dalam menjalankan sebuah proses merupakan sunnatullah bagi tercapainya hasil yang optimal dan inti dari pendidikan.
Keempat, hal lain berikutnya yang dibutuhkan dalam membangun akhlak peserta didik adalah dengan memperkuat hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Menurut Nasih Ulwan, hubungan interaktif-edukatif antara pendidik dan peserta didik termasuk diantara prinsip pendidikan yang diperlukan bagi pembentukan intelektual, spiritual, dan moral peserta didik. Oleh karenanya, dalam pandanganannya penting bagi pendidik untuk mencari cara-cara positif dalam menumbuhkan kecintaan, kasih sayang dan memperkuat semangat jalinan kerja sama di antara mereka. 38 37 Ulwan, 2014. 38 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 618–19.
Untuk mempererat hubungan di antara pendidik dan peserta didik, seorang pendidik perlu menujukan perhatian terhadap mereka, berinteraksi dengan budi pekerti yang baik, dan mendoakan peserta didikanya. Perhatian yang ditunjukan dapat berupa menanyakan kabar maupun kondisi mereka, menghapal nama-nama mereka dsb. Berkaitan dengan prilaku yang baik misalnya dengan senantiasa bermuka manis atau senyum, lemah lembut, dan prilaku-prilaku yang mulia lainnya. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha, bahwa beliau ditanya, “bagaimana sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang berada di rumah-nya?, maka Aisyah menjawab, “Beliau adalah orang yang senantiasa tersenyum dan bermanis muka, sama sekali belum terlihat beliau menjulurkan kedua kakinya di hadapan para shabatnya.”
Kelima, Membentuk akhlak dengan menggunakan beragam metode yang sesuai dengan kondisi peserta didik. Tujuan yang diinginkan tidak mungkin tercapai tanpa menggunakan metode yang tepat dalam proses pendidikan. Ketidaktepatan dalam penerapan metode dapat menghambat proses pendidikan itu sendiri. Oleh karenanya, penting bagi seorang pendidik untuk menguasai berbagai metode pembelajaran. Menurut Omar Mohammad at-Toumy, metode pendidikan dapat dikatakan baik jika memenuhi ciri-ciri berikut: 1) metode tersebut bersumber dari ajaran dan akhlak Islam; 2) bersifat luwes, dan dapat berubah menyesuaikan dengan keadaan dan suasana proses pembelajaran; 3) senantiasa berupaya mengkoneksikan antara teori dan praktik, antara proses belajar dan amal, antara hafalan dan pemahaman secara terpadu; 4) menghindari metode yang bersifat meringkas, karena hal itu dapat merusak kemampuan ilmiah; 5) mendorong peserta didik untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialog dengan cara yang sopan dan saling menghormati; 6) memberi kebebasan pendidik untuk memilih metode yang sesuai dengan materi dan peserta didiknya.
Diantara contoh metode yang dapat digunakan dalam pendidikan akhlak antara lain: metode pembiasaan, metode nasehat (dengan keikhlasan dan penuh kasih sayang), metode kisah qu’ani dan nabawi, metode targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut) dsb. Dari beberapa metode tersebut, para pendidik harus menyadari bahwa hakikatnya tidak ada metode yang ideal untuk semua materi dalam segala suasana dan kondisi. Oleh karenanya, penting bagi pendidik untuk memperhatikan suasana, peserta didik, materi, dan tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan itu sendiri.
Keenam, pembentukan akhlak dengan membangun dan mengotrol lingkungan peserta didik. Pemaknaan terma “lingkungan” di era digital tentu berbeda dengan pemahaman “lingkungan” pada masa lalu yang dibatasi oleh ruang dan batas geografis. Jika pada masa lalu masyarakat berinteraksi hanya melalui pertemuan fisik bertatap-muka dalam satu tempat tertentu, maka generasi masa kini berinteraksi disamping pertemuan fisik, mereka juga berinteraksi social melalui media online dengan jangkauan yang lebih luas dan tanpa batas. Oleh sebab itu, istilah yang digunakan bukan lagi hanya sebatas “membangun” dalam arti mengkondisikan pengaruh luar diri individu peserta didik sebagai lingkungan yang bersentuhan dengannya, seperti lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat tempat tinggalnya, namun juga istilah yang digunakan adalah “mengontrol” yang dapat dimaknai dengan memahami dan mengarahkan aktivitas dan prilaku digital atau online peserta didik.
Perkembangan teknologi informasi yang kian hari kian pesat merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Realitas yang menurut Fatih Syuhud tidak dapat dilawan kecuali dengan beruzlah atau mengasingkan diri ke hutan. Sedangkan sikap lari dari kenyataan bukanlah sikap yang tepat dan bijak. Hal itu karena tugas manusia hidup adalah memecahkan masalah, menyebarkan dakwah dan bukan lari darinya. Sementara itu, sifat asal teknologi sendiri adalah mubah. Sehingga halal atau haram bergantung kepada penggunaan manusia itu sendiri.
Teknologi digital sendiri sebagaimana sarana pada umumnya, memiliki potensi yang bersifat positifkonstruktif dan destruktif. Dari perspektif pendidikan, seyogyanya para pendidik melihat perkembangan teknologi dan fenomena yang terjadi yang mengiringinya sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan berupaya memahami karakteristik yang ada padanya. Sehingga para pendidik mampu menggunakannya sebagai sarana edukatif yang mendukung bagi perkembangan peserta didiknya.
Maka pendidikan akhlak bagi generasi muda adalah kebutuhan primer pada setiap masa termasuk di era ini. Hegemoni media teknologi dalam kehidupan generasi muda menjadi tantangan baru bagi mereka dalam menjalani kehidupan modern. Teknologi menghadirkan berbagai kemudahan, tapi pada saat bersamaan juga menghadirkan berbagai problema baru yang tidak sedikit, yang salah satunya adalah problem akhlak. Meluasnya problem akhlak dewasa ini menunjukan semakin pentingnya penguatan pendidikan yang menekankan pada aspek akhlak.
Daftar Pustaka:
Al-Qardhawi, Yusuf. Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Quran Al-Adzim.Pdf. Kairo: Dar Shorouk, 2000.
Azizah, Nurul. “Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawaih Konsep Dan Urgensinya Dalam Pengembangan Karakter Di Indonesia.” PROGRESS: Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim 5, no. 2 (2017): 177–201. https://doi.org/10.31942/pgrs.v5i2.2609.
Ghazali, Imam. Ihya’ Ulumuddin Jilid 2. Edited by Ismail Yakub. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1992
You must be logged in to post a comment.